nama : kresna
jurusan : hes 3b
Pada kesempatan kali ini saya akan menulis
sebuah artikel guna untuk memenuhi tugas perkuliahan dan pada kali ini saya
akan menulis artikel tentang perbedaan kasus hukum antara kalangan bawah sebagai
terdakwa dan kasus hukum kalangan atas sebagai terdakwa.
Pencurian sandal jepit dihukum 5 tahun penjara
AAL (15) , pelajar Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi
Tengah, tentu tidak pernah menyangka karena mencuri sandal jepit seharga Rp 30
ribu ia harus berhadapan dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi
Tengah. AAL didakwa mencuri sepasang sandal
jepit bermerek milik Brigadir Polisi Ahmad Rusdi Harahap dari kos-kosannya pada
November 2010 lalu. Hakim Tunggal PN Palu Rommel F Tampubolon yang menyidangkan
kasus ini, Selasa 20 Desember sudah mendengarkan dakwaan jaksa. AAL didakwa
Jaksa Naseh melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang
pencurian dan dituntut 5 tahun penjara. Terdakwa AAL didampingi Penasihat Hukum
Elvis Dj Katuwu yang sampai akhir persidangan terus berkata tak habis pikir
lantaran kasus ini bisa sampai ke pengadilan. Disaksikan kedua orang tuanya, AAL di persidangan
bukan saja hanya membantah telah mencuri, tapi juga mengaku mendapatkan tekanan
dan penganiayaan saat pemeriksaan oleh seorang anggota polisi agar mengaku
sebagai pelaku pencurian Kasus pencurian sandal jepit warna putih kusam merek
“Ando” seharga Rp 30 ribu.
“Masih banyak kasus-kasus besar yang harus kita prioritaskan. Ini kasus
kenakalan anak-anak biasa. Pelakunya pun di bawah umur. Semestinya sejak awal
kasus ini berakhir dengan jalan lebih bijak ketimbang membawanya ke
pengadilan,” kata Elvis. Dari paparan dakwaan Jaksa Naseh, kisah ini bermula
pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan
kost Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap melihat ada sandal jepit, ia kemudian
mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil AAL dan
temannya. Menurut Ahmad, polisi itu, kawan-kawannya juga kehilangan sandal. AAL
dan temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan sandal itu. Tim
penasihat hukumnya menganggap aneh bila kasus ini terus berlanjut ke pengadilan
dan hanya melibatkan AAL, padahal AAL hanya mengakui mencuri sepasang sandal.
Persidangan kasus ini berlangsung tertutup karena AAL berstatus di bawah umur.
Sebanyak 10 orang penasihat hukum mendampingi AAL lantaran menganggap kasus ini
penting menjadi bahan pelajaran hukum bagi masyarakat umum. “Kasus kecil
diseriusi, tapi kasus-kasus besar jarang sampai ke pengadilan,” sahut Elvis.
Akhirnya, hanya untuk kasus pencurian sandal seharga Rp 30 ribu saja, AAL
terancam 5 tahun penjara.
sumber
:
-
detik.com
-
Tubasmedia.com
Kasus 17 PRT Disekap Istri Jenderal Ujian bagi
Kepolisian
Profesionalisme kepolisian diuji dalam kasus dugaan
penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di Bogor, Jawa
Barat. Pada kasus ini ada dugaan keterlibatan mantan perwira tinggi Polri
Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang bersama istrinya, Mutiara.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyoroti kinerja kepolisan yang menangani kasus ini. Menurutnya, terdapat sebuah keraguan untuk menindak lebih lanjut. “Polresta Bogor tak menanggapi ini secara serius, mereka kalang kabut ketika LSM dan Kapolda turun tangan. Dugaan melindungi korps di sini sangat kuat,” ucap Neta.
Kekhawatiran Polri tidak bisa bertindak tegas muncul karena kerap kali kepolisian melindungi personelnya yang melanggar hukum, atau menutupi fakta keterlibatan anggota atau mantan anggotanya.
Status istri sang (purn) jenderal, Mutiara, baru ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa 25 Februari. Itu pun setelah dilakukan gelar perkara Polres Bogor Kota bersama tim asistensi Mabes Polri dan Polda Jawa Barat. Ironisnya, pada Rabu (26/2), Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Sompie menyatakan bahwa istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang belum berstatus tersangka. Penetapan tersangka baru akan dilakukan setelah adanya laporan visum dan keterangan saksi yang memberatkan.Neta mengisyaratkan kasus ini akan menambah berat citra buruk kepolisian di mata masyarakat. “Ini sebuah preseden buruk bagi pembangunan citra Polri sebagai aparat penegak hukum,” lanjutnya.Sementara itu, Destina Lestari anak mantan Kapolri Widodo Budidarmo, menyayangkan terjadinya peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di kediaman Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.“Sangat tidak manusiawi. Entah apa yang dipikiran pelaku saat itu, saya sangat malu apalagi pelaku berasal dari lingkungan kepolisian juga,” ucap Destina.Ia juga mempertanyakan kehadiran suami pelaku saat itu, sebagai seorang perwira tinggi kepolisian, menurutnya Brigjen Mangisi Situmorang, harus bertanggung jawab terhadap perilaku isterinya.“Tidak mungkin suaminya tidak tahu. Dia kan sudah tak aktif lagi jadi pasti selalu di rumah. Memberi rasa aman di rumahnya saja tidak bisa, bagaimana jika ditugaskan untuk melayani masyarakat di luar,” papar alumni Sorbonne University ini. Kasus penyekapan dan penyiksaan 17 PRT ini terungkap dari laporan salah satu korban, Yuliana Lewier kepada polisi pada 13 Februari lalu yang mengatakan telah diperlakukan secara kasar dan mengaku disekap selama bekerja di kediaman sang Jenderal.
Menindaklanjuti laporan ini, polisi lantas menjemput belasan pembantu rumah tangga (PRT) yang diduga disekap oleh Mutiara. Penjemputan dilakukan Rabu (19/2).
sekira pukul 19.00 WIB menggunakan tiga mobil dari rumah yang beralamat di Perumahan Bogor Baru Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Dalam kasus ini, ada beberapa pasal yang bakal dikenakan terkait dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Mutiara. Di antaranya Pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana perdagangan orang, atau Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan atau Pasal 80 Undang-Undang tentang perlindungan anak. Ancaman hukumannya bervariasi, untuk Pasal 44 Undang-Undang KDRT diancam pidana selama lima tahun penjara, Pasal 2 Undang-Undang Perdagangan Orang diancam selama tiga tahun, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut dilakukan di Ruang Sidang Utama Gedung Pengadilan Negeri Bogor. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Edi Pramulya. Dalam proses sidang, hakim membacakan dakwaan serta pertimbangan-pertimbangan putusan vonis.
Dalam pembacaan dakwaan, hakim menggugurkan 2 dakwaan primer, yakni dakwaan soal penganiayaan dan eksploitasi. Hakim menimbang bahwa selama ini ke-17 PRT diperlakukan dengan baik dan selalu diberi makan oleh MS. "Tidak terpenuhi unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Pasalnya selama ini para PRT selalu diberi makan. Selain itu, terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya," kata Edi dalam sidang. Sementara, dakwaan sekunder soal adanya dugaan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang vonis hari ini majelis hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 500 ribu."Majelis sidang menjatuhkan pidana selama 1 tahun dan memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada keputusan hakim yang memerintahkan lain yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis," tutur Edi. Kasus ini mencuat dan menjadi pusat perhatian masyarakat pada awal tahun 2014 lalu. Dimana akhirnya MS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 PRT yang dilakukan di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Blok C D Jalan Danau Mantana, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyoroti kinerja kepolisan yang menangani kasus ini. Menurutnya, terdapat sebuah keraguan untuk menindak lebih lanjut. “Polresta Bogor tak menanggapi ini secara serius, mereka kalang kabut ketika LSM dan Kapolda turun tangan. Dugaan melindungi korps di sini sangat kuat,” ucap Neta.
Kekhawatiran Polri tidak bisa bertindak tegas muncul karena kerap kali kepolisian melindungi personelnya yang melanggar hukum, atau menutupi fakta keterlibatan anggota atau mantan anggotanya.
Status istri sang (purn) jenderal, Mutiara, baru ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa 25 Februari. Itu pun setelah dilakukan gelar perkara Polres Bogor Kota bersama tim asistensi Mabes Polri dan Polda Jawa Barat. Ironisnya, pada Rabu (26/2), Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Sompie menyatakan bahwa istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang belum berstatus tersangka. Penetapan tersangka baru akan dilakukan setelah adanya laporan visum dan keterangan saksi yang memberatkan.Neta mengisyaratkan kasus ini akan menambah berat citra buruk kepolisian di mata masyarakat. “Ini sebuah preseden buruk bagi pembangunan citra Polri sebagai aparat penegak hukum,” lanjutnya.Sementara itu, Destina Lestari anak mantan Kapolri Widodo Budidarmo, menyayangkan terjadinya peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di kediaman Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.“Sangat tidak manusiawi. Entah apa yang dipikiran pelaku saat itu, saya sangat malu apalagi pelaku berasal dari lingkungan kepolisian juga,” ucap Destina.Ia juga mempertanyakan kehadiran suami pelaku saat itu, sebagai seorang perwira tinggi kepolisian, menurutnya Brigjen Mangisi Situmorang, harus bertanggung jawab terhadap perilaku isterinya.“Tidak mungkin suaminya tidak tahu. Dia kan sudah tak aktif lagi jadi pasti selalu di rumah. Memberi rasa aman di rumahnya saja tidak bisa, bagaimana jika ditugaskan untuk melayani masyarakat di luar,” papar alumni Sorbonne University ini. Kasus penyekapan dan penyiksaan 17 PRT ini terungkap dari laporan salah satu korban, Yuliana Lewier kepada polisi pada 13 Februari lalu yang mengatakan telah diperlakukan secara kasar dan mengaku disekap selama bekerja di kediaman sang Jenderal.
Menindaklanjuti laporan ini, polisi lantas menjemput belasan pembantu rumah tangga (PRT) yang diduga disekap oleh Mutiara. Penjemputan dilakukan Rabu (19/2).
sekira pukul 19.00 WIB menggunakan tiga mobil dari rumah yang beralamat di Perumahan Bogor Baru Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Dalam kasus ini, ada beberapa pasal yang bakal dikenakan terkait dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Mutiara. Di antaranya Pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana perdagangan orang, atau Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan atau Pasal 80 Undang-Undang tentang perlindungan anak. Ancaman hukumannya bervariasi, untuk Pasal 44 Undang-Undang KDRT diancam pidana selama lima tahun penjara, Pasal 2 Undang-Undang Perdagangan Orang diancam selama tiga tahun, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut dilakukan di Ruang Sidang Utama Gedung Pengadilan Negeri Bogor. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Edi Pramulya. Dalam proses sidang, hakim membacakan dakwaan serta pertimbangan-pertimbangan putusan vonis.
Dalam pembacaan dakwaan, hakim menggugurkan 2 dakwaan primer, yakni dakwaan soal penganiayaan dan eksploitasi. Hakim menimbang bahwa selama ini ke-17 PRT diperlakukan dengan baik dan selalu diberi makan oleh MS. "Tidak terpenuhi unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Pasalnya selama ini para PRT selalu diberi makan. Selain itu, terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya," kata Edi dalam sidang. Sementara, dakwaan sekunder soal adanya dugaan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang vonis hari ini majelis hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 500 ribu."Majelis sidang menjatuhkan pidana selama 1 tahun dan memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada keputusan hakim yang memerintahkan lain yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis," tutur Edi. Kasus ini mencuat dan menjadi pusat perhatian masyarakat pada awal tahun 2014 lalu. Dimana akhirnya MS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 PRT yang dilakukan di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Blok C D Jalan Danau Mantana, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Sumber : Liputan6.com
Tabel
Perbandingan kasus
NO
|
Macam macam
|
Sosial Atas
|
Sosial Bawah
|
1
|
Jenis
Pidana
|
Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan
dalam rumah tangga.
|
pasal
362 KUHP Pidana tentang pencurian
|
2
|
Nama
|
Mutiara Situmorang
|
ALL
|
3
|
Jumlah
korban
|
17 orang
|
1 korban. (Brigadir Polisi Ahmad Rusdi)
|
4
|
Jumlah
kerugian
(materil
atau imateril)
|
Materil : Gaji korban selama 3 bulan
Imateril : Korban (17
PRT) menjadi trauma, psikisnya tertekan.
|
Materil : Sandal jepit seharga Rp
30 ribu
Imateril : tidak ada
|
5
|
Perlakuan
Aparat
|
Hakim ketua Edi Pramulya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun
dan denda 500rb rupiah tanpa ditahan sampai ada perintah lain dari hakim jika
terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis.
|
Oleh hakim AAL didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian
dan terancam 5 tahun penjara. Perlakuan yang tidak adil terlihat
disini polisi,jaksa,hakim yang masih menerapkan hukum tanpa pandang bulu
|
6
|
Fasilitas
yang di dapat
|
Ada keringanan hukuman disidang
banding, pengguguran 2 dakwaan primer berupa penganiayaan dan eksploitasi
dengan alasan kurang kuatnya bukti dan hanya dijerat tindak pidana dugaan
KDRT
|
biasa
|
Dari kedua
kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan serta jabatan seseorang masih
berpengaruh dalam penerapan hukum di indonesia saat ini seperti teori Karl Mark
bahwa hukum berpihak pada penguasa. jadi hukum hanya berpihak pada seseorang
yang memiliki jabatan atau pun kekuasaan dalam segala bidang Oleh karena itu
perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari
tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan
pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum
kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak
melupakan aspek kemanusiaan.