Minggu, 08 November 2015



PENERAPAN DUA PARADIGMA DALAM UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Pada kesempatan kali ini saya akan menganalisis mengenai pasal 8, pasal 9, pasal 59, dan pasal 83 dan bagaimana penerapan dua paradigma dalam pasal-pasal perlindunganan anak tersebut :

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Analisis : menurut saya pasal ini masuk dalam paradigma bahwa hukum sebagai alat memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasal ini sudah relevan diterapkan pada masyarakat karena masyarakat menginginkan setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Dan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk menumbuh kembangkan potensi dan bakat anak yang ada pada diri masing-masing anak, maka dengan ini hukum harus melayani apa yang di inginkan oleh masyarakat, dalam paradigma ini hukum sebagai hal yang mengabdi kepada kebutuhan masyarakat. Namun pada kenyataannya pemerintah masih belum efektif dalam menerapkan pasal ini, masih banyak anak-anak yang tinggal di desa-desa kecil yang jauh dari perkotaan mereka masih banyak kekurangan fasilitas seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.

Pasal 9

1. Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
(1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
2. Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak  Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Analisis : Pasal ini masuk dalam paradigm bahwa hukum sebagai alat memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasal ini sudah relevan karena Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
 masyarakat menginginkan setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Dan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk menumbuh kembangkan potensi yang ada pada diri anak, maka dengan ini hukum harus melayani apa yang di inginkan oleh masyarakat, dalam paradigma ini hukum sebagai hal yang mengabdi kepada kebutuhan masyarakat. Namun pada kenyataannya pemerintah belum efektif menerapkan pasal ini, masih banyak anak yang tidak memperoleh semua fasilitas itu.


Pasal 59

1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
2. Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat
b. Anak yang berhadapan dengan hukum
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
f. Anak yang menjadi korban pornografi
g.Anak dengan HIV/AIDS 
h.Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis
j. Anak korban kejahatan seksual
k.      Anak korban jaringan terorisme
l.        Anak Penyandang Disabilitas
m.    Anak korban perlakuan salah dan penelantaran
n.      Anak dengan  perilaku sosial  menyimpang dan
o.      Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

Analisis : menurut saya pasal 59 ini masuk dalam paradigma Hukum sebagai alat memenuhi kebutuhan masyarakat bahwa pasal ini masuk dalam cirri-ciri yang menyatakan hukum mengabdi pada perubahan sosial dan pasal ini sudah relevan di terapkan di masyarakat karena hukum itu mengikuti perubahan laju masyarakat. Hukum disini ditentukan oleh Negara akan tetapi disebabkan oleh tindakan kejahatan yang telah banyak terjadi. Salah satu tindak kekerasan terhadap anak dalam hal ini adalah kasus perdagangan anak. Anak dijadikan objek eksploitasi yang memberikan keuntungan bagi pelaku kekerasan, namun menimbulkan banyak penderitaan bagi korban. Anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana kekerasan seperti pedofil atau pelecehan seksual kepada anak di bawah umur. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dengan upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesilibitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak korban perdagangan orang yaitu dengan upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan dan upaya rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. namun di sisi lain pasal ini masih belum efektif dalam penerapanya.


Pasal 83

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Analisis : Pasal ini telah mengalami perubahan dari UU nomor 23 tahun 2002 kemudian dirubah pada UU nomor 35 tahun 2014 namun inti dari pasal ini masih sama mengenai sanksi yang didapat oleh seseorang yang melanggar hak perlindungan anak. Dalam pasal ini kurang relevan diterapkan di masyarakat, karena jika yang menjadi tersangka adalah orang kaya maka akan dengan mudah menjalani proses hukum tersebut jadi harapan dari masyarakat sendiri seseorang yang telah melanggar hak anak dijatuhi hukuman seberat-beratnya bahkan seumur hidup dan denda sebanyak-banyaknya. Pasal ini masuk dalam paradigma Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan.hukum dalam pasal ini diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul. Persoalan hukum yang diprediksi akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang. Oleh sebab itu pemerintah membuat pasal ini untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran hak-hak pada anak. Namun harusnya pasal ini dirubah mengenai sanksi yang diberikan mengingat persoalan yang dilakukan sangat merusak mental anak dan merugikan hak-hak anak.

Demikian tadi pemaparan sekilas mengenai uu no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan hukum sebagai paradigma,  saya mohon maaf apabila ada salah kata, ketik ataupun pemaparan nya. Dan saya berharap atas kritik dan saranya untuk melengkapi tugas yang telah saya buat. terimakasih

Daftar Pustaka
·        Ni’mah, Zulfatun. 2012. Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Teras.
·        Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Suryabrata, Sumadi, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: AND I Press, 2000.
·        Arief, Barda Nawawi,   Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:  Citra Aditya Bakti. 1999.

Selasa, 06 Oktober 2015

PERBEDAAN LAPISAN SOSIAL KASUS HUKUM



nama : kresna
jurusan : hes 3b 

Pada kesempatan kali ini saya akan menulis sebuah artikel guna untuk memenuhi tugas perkuliahan dan pada kali ini saya akan menulis artikel tentang perbedaan kasus hukum antara kalangan bawah sebagai terdakwa dan kasus hukum kalangan atas sebagai terdakwa.

Pencurian sandal jepit dihukum 5 tahun penjara
AAL (15) , pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, tentu tidak pernah menyangka karena mencuri sandal jepit seharga Rp 30 ribu ia harus berhadapan dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah. AAL didakwa mencuri sepasang sandal jepit bermerek milik Brigadir Polisi Ahmad Rusdi Harahap dari kos-kosannya pada November 2010 lalu. Hakim Tunggal PN Palu Rommel F Tampubolon yang menyidangkan kasus ini, Selasa 20 Desember sudah mendengarkan dakwaan jaksa. AAL didakwa Jaksa Naseh melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan dituntut 5 tahun penjara. Terdakwa AAL didampingi Penasihat Hukum Elvis Dj Katuwu yang sampai akhir persidangan terus berkata tak habis pikir lantaran kasus ini bisa sampai ke pengadilan. Disaksikan kedua orang tuanya, AAL di persidangan bukan saja hanya membantah telah mencuri, tapi juga mengaku mendapatkan tekanan dan penganiayaan saat pemeriksaan oleh seorang anggota polisi agar mengaku sebagai pelaku pencurian Kasus pencurian sandal jepit warna putih kusam merek “Ando” seharga Rp 30 ribu. “Masih banyak kasus-kasus besar yang harus kita prioritaskan. Ini kasus kenakalan anak-anak biasa. Pelakunya pun di bawah umur. Semestinya sejak awal kasus ini berakhir dengan jalan lebih bijak ketimbang membawanya ke pengadilan,” kata Elvis. Dari paparan dakwaan Jaksa Naseh, kisah ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kost Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap melihat ada sandal jepit, ia kemudian mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil AAL dan temannya. Menurut Ahmad, polisi itu, kawan-kawannya juga kehilangan sandal. AAL dan temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan sandal itu. Tim penasihat hukumnya menganggap aneh bila kasus ini terus berlanjut ke pengadilan dan hanya melibatkan AAL, padahal AAL hanya mengakui mencuri sepasang sandal. Persidangan kasus ini berlangsung tertutup karena AAL berstatus di bawah umur. Sebanyak 10 orang penasihat hukum mendampingi AAL lantaran menganggap kasus ini penting menjadi bahan pelajaran hukum bagi masyarakat umum. “Kasus kecil diseriusi, tapi kasus-kasus besar jarang sampai ke pengadilan,” sahut Elvis. Akhirnya, hanya untuk kasus pencurian sandal seharga Rp 30 ribu saja, AAL terancam 5 tahun penjara.
sumber :
-                                detik.com
-                                Tubasmedia.com

Kasus 17 PRT Disekap Istri Jenderal Ujian bagi Kepolisian

Profesionalisme kepolisian diuji dalam kasus dugaan penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di Bogor, Jawa Barat. Pada kasus ini ada dugaan keterlibatan mantan perwira tinggi Polri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang bersama istrinya, Mutiara.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyoroti kinerja kepolisan yang menangani kasus ini. Menurutnya, terdapat sebuah keraguan untuk menindak lebih lanjut. “Polresta Bogor tak menanggapi ini secara serius, mereka kalang kabut ketika LSM dan Kapolda turun tangan. Dugaan melindungi korps di sini sangat kuat,” ucap Neta.
Kekhawatiran Polri tidak bisa bertindak tegas muncul karena kerap kali kepolisian melindungi personelnya yang melanggar hukum, atau menutupi fakta keterlibatan anggota atau mantan anggotanya.
Status istri sang (purn) jenderal, Mutiara, baru ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa 25 Februari. Itu pun setelah dilakukan gelar perkara Polres Bogor Kota bersama tim asistensi Mabes Polri dan Polda Jawa Barat. Ironisnya, pada Rabu (26/2), Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Sompie menyatakan bahwa istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang belum berstatus tersangka. Penetapan tersangka baru akan dilakukan setelah adanya laporan visum dan keterangan saksi yang memberatkan.Neta mengisyaratkan kasus ini akan menambah berat citra buruk kepolisian di mata masyarakat. “Ini sebuah preseden buruk bagi pembangunan citra Polri sebagai aparat penegak hukum,” lanjutnya.Sementara itu, Destina Lestari anak mantan Kapolri Widodo Budidarmo, menyayangkan terjadinya peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap 17 pembantu rumah tangga (PRT) di kediaman Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.“Sangat tidak manusiawi. Entah apa yang dipikiran pelaku saat itu, saya sangat malu apalagi pelaku berasal dari lingkungan kepolisian juga,” ucap Destina.Ia juga mempertanyakan kehadiran suami pelaku saat itu, sebagai seorang perwira tinggi kepolisian, menurutnya Brigjen Mangisi Situmorang, harus bertanggung jawab terhadap perilaku isterinya.“Tidak mungkin suaminya tidak tahu. Dia kan sudah tak aktif lagi jadi pasti selalu di rumah. Memberi rasa aman di rumahnya saja tidak bisa, bagaimana jika ditugaskan untuk melayani masyarakat di luar,” papar alumni Sorbonne University ini. Kasus penyekapan dan penyiksaan 17 PRT ini terungkap dari laporan salah satu korban, Yuliana Lewier kepada polisi pada 13 Februari lalu yang mengatakan telah diperlakukan secara kasar dan mengaku disekap selama bekerja di kediaman sang Jenderal.
Menindaklanjuti laporan ini, polisi lantas menjemput belasan pembantu rumah tangga (PRT) yang diduga disekap oleh Mutiara. Penjemputan dilakukan Rabu (19/2).
sekira pukul 19.00 WIB menggunakan tiga mobil dari rumah yang beralamat di Perumahan Bogor Baru Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Dalam kasus ini, ada beberapa pasal yang bakal dikenakan terkait dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan Mutiara. Di antaranya Pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana perdagangan orang, atau Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan atau Pasal 80 Undang-Undang tentang perlindungan anak. Ancaman hukumannya bervariasi, untuk Pasal 44 Undang-Undang KDRT diancam pidana selama lima tahun penjara, Pasal 2 Undang-Undang Perdagangan Orang diancam selama tiga tahun, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. Sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut dilakukan di Ruang Sidang Utama Gedung Pengadilan Negeri Bogor. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Edi Pramulya. Dalam proses sidang, hakim membacakan dakwaan serta pertimbangan-pertimbangan putusan vonis.
Dalam pembacaan dakwaan, hakim menggugurkan 2 dakwaan primer, yakni dakwaan soal penganiayaan dan eksploitasi. Hakim menimbang bahwa selama ini ke-17 PRT diperlakukan dengan baik dan selalu diberi makan oleh MS. "Tidak terpenuhi unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Pasalnya selama ini para PRT selalu diberi makan. Selain itu, terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya," kata Edi dalam sidang. Sementara, dakwaan sekunder soal adanya dugaan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang vonis hari ini majelis hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 500 ribu."Majelis sidang menjatuhkan pidana selama 1 tahun dan memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada keputusan hakim yang memerintahkan lain yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan habis," tutur Edi. Kasus ini mencuat dan menjadi pusat perhatian masyarakat pada ‎awal tahun 2014 lalu. Dimana akhirnya MS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 PRT yang dilakukan di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Blok C D Jalan Danau Mantana, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Sumber : Liputan6.com



Tabel Perbandingan kasus

NO
Macam macam
Sosial Atas
Sosial Bawah
1
Jenis Pidana
     Pasal 44 Undang-Undang tentang kekerasan dalam rumah tangga.
pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian
2
Nama
Mutiara Situmorang
ALL
3
Jumlah korban
17 orang
1 korban. (Brigadir Polisi Ahmad Rusdi)
4
Jumlah kerugian
(materil atau imateril)
Materil : Gaji korban selama 3 bulan
Imateril : Korban (17 PRT)  menjadi trauma, psikisnya tertekan.
Materil : Sandal jepit seharga Rp 30 ribu
Imateril : tidak ada
5
Perlakuan Aparat
  Hakim ketua Edi Pramulya menjatuhkan hukuman percobaan selama 1 tahun dan denda 500rb rupiah tanpa ditahan sampai ada perintah lain dari hakim jika terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis.
  Oleh hakim AAL didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan terancam 5 tahun penjara. Perlakuan yang tidak adil terlihat disini polisi,jaksa,hakim yang masih menerapkan hukum tanpa pandang bulu
6
Fasilitas yang di dapat
      Ada keringanan hukuman disidang banding, pengguguran 2 dakwaan primer berupa penganiayaan dan eksploitasi dengan alasan kurang kuatnya bukti dan hanya dijerat tindak pidana dugaan KDRT
biasa

Analisis kasus :
Dari kedua kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan serta jabatan seseorang masih berpengaruh dalam penerapan hukum di indonesia saat ini seperti teori Karl Mark bahwa hukum berpihak pada penguasa. jadi hukum hanya berpihak pada seseorang yang memiliki jabatan atau pun kekuasaan dalam segala bidang Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.